Yogyakarta – Peristiwa Madiun 1948 atau dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Moeso ternyata tidak dtemukan bukti
keterlibatan Uni Soviet. Tidak ada instruksi langsung dari Uni Soviet, namun Moeso lebih terinspirasi kemenangan Partai Komunis Cina (PKC) atas kelompok nasionalis pimpinan Dr Sun Yat Sen.
“Jalan baru Republik Indonesia-nya Moeso sebagai pedoman gerakan komunis di Indonesia lebih sebagai kreatifitas Moeso sendiri daripada cetak biru dari Kremlin. Moeso lebih terpikat cara-cara PKC,” ungkap sejarawan Dr Budiawan dalam bedah buku “Dari Moskow ke Madiun?, Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet -Indonesia 1947-1953” karya Larissa M. Efimova di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Rabu (13/10/2010).
Menurut Budiawan dalam pandangan kaum intelektual baik barat maupun Indonesia, bahkan penulisan sejarah resmi menyebutkan peristiwa Madiun 1948 adalah sebagai berdirinya negara boneka Soviet, pemberontakan yang didukung Soviet yang komunis dan pemerintahan Soviet di bawah Moeso. Dengan kata lain ada keterlibatan Uni Soviet atas peristiwa itu.
Namun dalam dokumen yang sudah diklasifikasikan oleh Indonesianis asal Rusia, Prof Larissa M. Efimova, menunjukkan tidak ditemukan bukti-bukti mengenai perintah Moskow secara instruktif dan pasti kepada Moeso.
“Karya M. Efimova menunjukkan tidak ada garis perintah langsung. Dari
dokumen-dokumen yang ada, dapat disimpulkan Moeso menuangkan pandangan dan
gagasan sendiri politiknya,” kata Budiawan yang juga penerjemah kumpulan tulisan Efimova tersebut.
Budiawan mengatakan Moeso pulang ke Indonesia bulan Agustus 1948 lebih didasari atas keprihatinan terpecah dan tercerai-beraninya kaum kiri pimpinan Amir Syarifuddin Cs. Moeso waktu itu ingin menyelamatkan kaum kiri terhadap tekanan kelompok lain.
Buku tersebut setebal 171 halaman yang diterbitkan oleh Syarikat Indonesia dan Kelopak Semata (Kelompok Penyimak Sejarah Masyarakat Tanah Air). Buku ini juga mengungkap seputar awal mula hubungan Indonesia-Uni Soviet antara tahun 1947-1953 berdasarkan data-data resmi di Rusia yang telah diklasifikasi setelah Soviet pecah tahun 1989.
Dari data-data tersebut kata Budiawan, terungkap bahwa bagi Soviet, Indonesia bukan arena untuk menyebarkan pengaruh politiknya terutama saat perang dingin. Sesuai perjanjian Yalta oleh Inggris, AS dan Soviet, Soviet lebih mengarahkan ke Eropa Timur, dan AS ke Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Sedangkan Inggris ke wilayah Asia Tenggara. “Pimpinan Soviet lebih patuh pada perjanjian internasional,” katanya.
Dia menegaskan berdasarkan kajian Efimova terungkap bila Indonesia setelah
kemerdekaan mencoba mendekati Soviet dengan membuka jalur hubungan diplomatik seperti yang dilakukan Menlu waktu itu LN Palar untuk mendapatkan dukungan internasional. Dalam catatan Efimova, Soviet-lah yang mungkin merupakan negara pertama yang menyeret Indonesia ke dalam kancah perang dingin. Namun Indonesia juga mampu memanfaatkan rivalitas dalam perang dingin untuk kepentingan nasionalnya.
“Saat itu Soviet juga sangat hati-hati terhadap Indonesia terutama saat ada penjajakan pembukaan jalur hubungan diplomatik. Bagi kelompok antikiri sendiri juga khawatir bila hubungan dengan Soviet dibuka akan dimanfaatkan oleh kelompok kiri,” tutup dia. (bgs/anw)
Komentar Terbaru