Program RSBI yang dilaksanakan berdasar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI (Permendiknas) Nomor 78 Tahun 2009 sebenarnya memiliki tujuan baik.

Tujuan itu salah satunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada anak didik, sekaligus untuk menyetarakan dan mendapatkan pengakuan internasional.

Pemerintah dalam hal ini melalui Kementrian Pendidikan Nasional mulai membuka kran perizinan dilaksanakannya RSBI, yang kemudian disambut baik oleh banyak lembaga pendidikan.

Namun, dalam pelaksanaannya, banyak hal tidak sesuai dengan kepatutan yang terjadi dalam penyelenggaraan RSBI, khususnya ketika makin banyak sekolah negeri yang ikut-ikutan mengajukan perizinan RSBI.

Padahal, biaya untuk bersekolah di RSBI sangat mahal antara Rp400-500 ribu per bulan, belum uang masuk yang berkisar antara Rp6 juta. Semestinya, sekolah negeri bisa diakses oleh berbagai kalangan, dari yang mampu hingga kurang mampu.

Perizinan RSBI seharusnya diprioritaskan kepada sekolah swasta terlebih dahulu, dengan
selektif yaitu sekolah yang dinilai berprestasi, baik di setiap kabupaten/kota. Kalau tidak
ada, baru beralih pada sekolah negeri terbaik di kabupaten/kota tersebut, sehingga
kualitas pendidikan terjamin.

Akibat “sembarangan” dalam mengeluarkan izin RSBI itu, kini pemerintah mengalami
kesulitan sendiri, sehingga untuk sementara menghentikan mengeluarkan izin baru pendirian
RSBI sambil menunggu hasil evaluasi dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Penyelenggaraan RSBI memang harus dievaluasi, bahkan kalau perlu dihentikan, karena dalam pendirian dan pelaksanaannnya hanya mengejar prestise agar pendidikan di Indonesia dinilai lebih baik oleh negara lain, tanpa memperhatikan kesiapan yang sebenarnya menjadi unsur penting dalam penyelenggaraan RSBI.

Sebagai perbandingan saja, di Jepang, negara yang sangat maju teknologinya, dan
pendidikannya, ternyata di sana masih menggunakan alat-alat belajar tradisional, seperti
kapur dan papan tulis biasa dalam proses belajarnya, tidak terlalu mengembar-gemborkan
“embel-embel” retorika modern.

Seharusnya, jika memang ingin memajukan pendidikan, jangan melihat “embel-embel”, tetapi harus mengedepankan kualitas, terutama kualitas pendidik (guru). Jika pendidiknya
berkualitas dan mampu mentransfer ilmu dengan baik, maka output-nya juga akan baik.

Apalagi didukung fasilitas yang memadai, misalnya laboratorium yang lengkap, perpustakaan yang lengkap dan nyaman, dan kondisi lingkungan yang mendukung pembelajaran.

Sebenarnya bukan secanggih apa fasilitasnya, tetapi hakekatnya adalah bagaimana
menumbuhkan minat belajar anak didik, sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang mereka (anak didik) miliki.

Pemerintah tampaknya terlalu mengikuti “impian” UU Sisdiknas, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan rakyat, dimana masih banyak anak yang tidak mungkin bersekolah di RSBI, karena tingginya biaya.

Bahkan, sekarang muncul anggapan bahwa RSBI hanya dijadikan sebagai proyek, karena cukup banyaknya keuntungan yang didapat bagi sekolah yang menyelenggarakan RSBI.

Yang paling penting dan mendesak bagi pemerintah adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan, dengan introspeksi apakah para pendidik kita sudah mampu mengajar di RSBI. Kalau mereka belum siap, bagaimana dengan muridnya? Pasti mubazir. Inilah yang harus segera dipikirkan agar kita tidak terjebak dalam sebuah impian yang hanya ingin mendapat status diakui oleh dunia internasional, namun sebenarnya itu semua hanya semu belaka.

Penulis : Achmad Munir

Bagikan Berita