REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — DPR mensinyalir rekrutmen pegawai negeri sipil daerah (PNSD) dibisniskan. Setiap orang yang melamar jadi PNS harus membayar komisi antara puluhan hingga ratusan juta rupiah, dengan tanpa jaminan diterima akibat persaingan ketat.
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja, Jumat (15/7), mengungkapkan kritikan terhadap persoalan jumlah PNSD yang berlebih. Hakam mengatakan, pengangkatan PNSD dilakukan tanpa terkontrol. Itu akibat kebijakan sektoral kepala daerah yang memikirkan diri sendiri.
Akibat tidak mempertimbangkan azas kebutuhan jumlah PNSD tersebut membuat anggaran belanja pegawai jauh lebih besar dibanding anggaran modal. “Ini karena penerimaan PNSD bersifat koncoisme. Keluarga dan orang dekat pejabat banyak yang diangkat,” ujar politikus Fraksi PAN tersebut.
Ia mengatakan, kebijakan berdasar politis itu dilakukan kepala daerah sebagai konsekuensi janji pilkada. Kepala daerah, sambung dia, wajib mengangkat orang dekatnya menjadi PNSD karena ikut berperan memenangkannya.
Kebijakan sektoral itu tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Dampaknya APBD tidak pro rakyat sebab kebijakan kepala daerah bersifat jangka pendek. Abdul meminta pemerintah memerangi berbagai manipulasi dan perilaku korup terkait penerimaan PNSD itu.
Caranya dengan mengeluarkan kebijakan bersifat keras dan tegas. Jika tidak begitu, katanya, jumlah PNSD semakin banyak. Ia juga mendukung gagasan moratorium sebagai salah satu langkah penataan ulang PNSD.
Menurutnya, proses rekruitmen PNSD perlu diperbaiki. Itu tidak lain agar orang yang mendaftar memiliki kompetensi dan kualitas bagus sebagai calon abdi negara. Sistem pembedaan antara daerah dan nasional juga perlu dihapus melalui revisi UU 32 Tahun 2004.
Komentar Terbaru