INILAH.COM, Tokyo – Meskipun tertimpa tiga bencana yaitu gempa, tsunami dan krisis nuklir, kreativitas masyarakat Jepang tidak surut. Bahkan, dunia maya Jepang dibanjiri inovasi dan kreasi media online.

Setelah gempa berkekuatan 9 SR pada 11 Maret lalu, dunia online Jepang gempar dengan pertanyaan, “Bagaimana cara kami bisa membantu?” Untuk itu, platform media sosial memberikan keterbukaan ide seluas-luasnya kepada masyarakat.

Seorang guru Inggris yang tinggal di kota Abiko, sebelah timur Tokyo , Jepang, memimpin sebuah tim yang berisi para blogger, penulis dan editor untuk menciptakan Quakebook. Ini merupakan kumpulan refleksi, esai dan gambar berkaitan dengan gempa bumi.

Pada akhirnya, karya itu akan dijual sebagai publikasi digital. Hasil dari proyek tersebut akan disumbangkan ke Palang Merah Jepang. Yang menarik, ide tersebut bermula dari Twitter.

Quakebookmelibatkan sekitar 200 masyarakat Jepang dan luar negeri serta berencana menjual materi itu di Amazon.com. Dipromomosikan secara langsung oleh pihak resmi Twitter, Quakebook berhasil menarik perhatian penulis novel populer Barry Eisler untuk merangkai tulisan di kata pengantar.

“Saya hanya ingin melakukan sesuatu,” ujar pria yang tidak ingin diungkapkan jati dirinya itu, berdasarkan keterangan Associated Press. “Saya merasa benar-benar tidak berdaya.”

Proyek lain yang juga marak di Jepang adalah ‘1.000 Pesan Dunia untuk Jepang’. Ini adalah sebuah upaya menyampaikan pemikiran masyarakat di seluruh dunia bagi Jepang. Setiap orang di seluruh dunia dapat memberikan catatan singkat via Facebook atau pesan elektronik. Selanjutnya, pesan itu akan diartikan ke bahasa Jepang oleh para relawan. Pada akhirnya, tulisan tersebut akan dipublikasikan ke situs resmi mereka.

“Berita tentang tsunami, gempa bumi dan krisis Jepang sebagian besar bercerita tentang hal menakutkan. Tapi, peristiwa ini juga menjadi penanda kekuatan dan cara penyelesaian masalah berdasarkan kebudayaan Jepang,” ujar salah satu pesan yang tertulis di halaman depan situs mereka.

Beberapa saat setelah bencana yang menewaskan 18 ribu orang, jaringan telepon dan seluler memang tidak dapat digunakan karena kelebihan beban trafik. Karenanya, masyarakat memanfaatkan internet untuk melacak teman dan keluarga.

Di Tokyo, meskipun terkena dampak kerusakan yang kecil, penduduk tetap ingin mendapatkan informasi rutin soal apakah kereta api masih berjalan atau tidak, apakah lingkungan mereka terkena pemadaman listrik bergilir karena kerusakan pembangkit listrik, dan lainnya.

Minggu ini mencatat terjadi lonjakan penguna data di berbagai situs jejaring sosial setelah gempa dan tsunami. Pengguna mencapai angka 7,5 juta dalam kurun 7 Maret sampai 13 Maret, berdasarkan keterangan Nielsen NetRatings di Jepang.

Operator streaming video, Ustream, dan platform pertukaran video Jepang, Nico Nico Douga, juga mengalami peningkatan jumlah khalayak. Penonton Ustream mencapai 1,4 juta, didorong tindakan media siar publik NHK yang menayangkan liputan langsung.

Selain itu, ada pula Twitter yang membantu pengalangan dana untuk masyarakat Jepang, sama seperti yang dilakukan mereka saat bencana di Haiti maupun Selandia Baru. “Banyak orang yang mendaftar di akun Twitter setelah gempa. Ini dikarenakan keinginan untuk bertukar informasi,” ujar Nobuyuki Hayashi, wartawan teknologi Jepang sekaligus konsultan.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan desainer web, Qanta Shimizu. Ia melihat munculnya kebaikan manusia yang luar biasa karena keberadaan jejaring sosial pada masa krisis. Pada 1995, ketika sebuah gempa besar menghancurkan Kobe , internet sedang berkembang dan media massa mengontrol semua arus informasi. Namun kini, masyarakat berpindah ke jejaring sosial untuk mendapatkan informasi atau berita.

“Masyarakat kini berubah. Melalui internet, siapun bisa mendapatkan dan memberikan dukungan tanpa batas waktu,” kata Shimizu lagi. Ia lalu menciptakan aplikasi Twitter yang mengajak pengguna internet untuk melakukan sesuatu bagi orang lain, meskipun sedikit.

‘Setsudener’ yang berarti ‘menyimpan energi’ dalam bahasa Jepang, merupakan aplikasi yang secara otomatis mengelapkan gambar profil pengguna Twiter dari pukul 5 sore sampai 8 malam. Ini menjadi simbol dari kebutuhan pengurangan konsumsi listrik saat puncak kebutuhan energi. [mdr]

Bagikan Berita