Jakarta (ANTARA News) – Putusan banding Pengadilan Pajak yang mempertimbangkan keberatan pembayaran pajak film impor yang diajukan tiga importir film asing yang tergabung dalam Kelompok 21 belum ke luar, tetapi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI pada Kamis 19 Mei 2011 membolehkan diimpornya lagi film-film asing karena salah satu importir film tersebut telah membayar tagihan pokok utang pajak sambil menunggu vonis.
Empat bulan yang lalu, media massa memberikan perhatian terhadap fenomena akan hilangnya film-film impor, terutama film Hollywood yang akan tidak tayang lagi di gedung bioskop. Hal ini terjadi setelah pihak Jaringan Bioskop 21 mengemukakan bahwa Asosiasi Produsen Film Amerika Serikat/AS (MPAA) Hollywood memutuskan untuk tidak mengedarkan film-film Hollywood lagi di Indonesia sebagai respon atas kebijakan perpajakan, terutama Bea Masuk (BM) atas hak Distribusi yang mulai diberlakukan pemerintah Indonesia 10 Januari 2011.
Permasalahannya, benarkah kebijakan pajak terhadap produk film impor itu memang memberatkan dan dianggap tidak wajar karena tinggi besaran angkanya? Masalah inilah yang perlu diluruskan agar tidak timbul kesan otoritas pajak Indonesia telah memberlakukan kebijakan perpajakan terhadap film impor yang sifatnya diskriminatif atau merugikan importir film asing. Fakta lain membuktikan bahwa selama ini importir film asing terkesan menyembunyikan informasi dalam pelaporan pajak film impor dan terindikasi berpotensi merugikan penerimaan negara.
Hal yang patut dipermasalahkan bukan adanya peraturan pajak baru terhadap film impor yang akan mengenakan pajak yang dianggap tinggi dan merugikan usaha importasi film. Tidak ada peraturan pajak baru bagi film impor. Fakta yang ada adalah keluarnya Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor 3 tanggal 10 Januari 2011 yang hanya menegaskan agar para importir film termasuk film Hollywood harus membayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan, Undang-Undang (UU) Pajak dan UU Kepabeanan yang berlaku.
Menyesatkan
Pendapat yang menyatakan bahwa importir film harus membayar pajak senilai 23,75 % itu sebenarnya merupakan pernyataan yang menyesatkan karena opini publik yang berkembang memberikan kesan bahwa regulasi pajak terhadap film impor yang dikeluarkan pemerintah menyebabkan beban yang tinggi terhadap importasi film asing. Sementara itu tidak ada penjelasan tentang jumlah angka 23,75% itu terdiri dari pajak apa saja dan bagaimana penentuan atau perhitungannya?
Jumlah angka 23,75% ini rinciannya adalah Bea Masuk (BM) sebesar 10% dari Nilai Pabean (NP). PPN 10 % dari (NP + BM) = 11% dari Nilai Pabean. Pajak Penghasilan (Pph) 2,5 % dari (NP + BM) = 2,75 % dari Nilai Pabean,
Nilai Pabean adalah nilai transaksi yang sebenarnya, yang dibayar atau akan dibayar untuk memperoleh barang/jasa yang diimpor tersebut. Nilai Pabean menjadi nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak. berapa sebenarnya nilai pabean yang importir dan Hollywood laporkan ketika mengimpor film? Apakah sudah wajar dan sudah benar sesuai peraturan perpajakan yang berlaku?
Selama ini pihak MPAA dan importir film asing telah menyembunyikan angka itu dari otoritas Pajak dan Bea Cukai dengan mengaku hanya beli/jual dengan harga AS $ 0,43/meter; atau + AS $ 1,000/copy, sehingga kalau mengimpor satu (1) judul film dengan jumlah perhitungan untuk satu (1) copy film asing , NP = AS$ 1,000,- Pajaknya 23,75% = AS$ 237,50,- atau + Rp2,1 juta. Untuk lima (5) copy, NP = AS$ 5,000,- pajaknya hanya Rp10 juta. Untuk 30 copy, NP = AS$ 30,000, – pajaknya hanya Rp60 juta. Untuk 50 Copy, NP = AS$ 50,000 = + Rp500 juta; Pajaknya AS$ 11,875 = + Rp110 juta. Jadi rata-rata per copy penerimaan negara dari impor film asing hanya sekitar Rp2 juta.
Sebagai perbandingan, Beban Pajak film nasional adalah pertama PPN per copy film – Rp1 juta (10% dari sekitar Rp10 juta). Jika Rata-rata per judul 35 copy, maka dari cetak copy saja kena pajak pertambahan nilai (PPN) Rp35 juta. Kalau mencetak 100 copy, PPN yang harus dibayar mencapai Rp100 juta.
Rata-rata beban pajak produksi film nasional adalah 10% dari budget, jika anggaran atau budgetnya berjumlah Rp 5 milyar, maka beban pajaknya mencapai Rp500 juta, dan jika budgetnya makin besar misalnya Rp15 Milyar, maka pajaknya juga mencapai jumlah Rp1,5 milyar. Jadi kita hitung berapa besar jumlah pajak yang dikenakan terhadap film asing atau impor? Berapa kali lipat jumlah pajak film nasional dibandingkan beban pajak film impor ?
Tidak Dilaporkan
Selama ini nampaknya pihak importir film asing dan pihak Hollywood sendiri tidak pernah melaporkan harga transaksi jual/beli film impor secara benar. Mereka hanya melaporkan Nilai Pabean senilai biaya cetak copy film nya saja, yaitu AS$ 0,43/meter. Padahal Harga Beli film asing tersebut bukan hanya itu saja, karena ada kewajiban importir yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar sekian prosentase (% ) tertentu dari hasil edar film itu.
Nilai Pabean dilaporkan sama untuk semua film, baik untuk film, seperti Blockbusters, film dengan produksinya mahal dan peredarannya sukses, maupun film impor yang tergolong biasa-biasa saja yang biaya produksinya murah dan peredarannya tidak sukses. Jadi sangat wajar jika perlakuan pajak terhadap film impor saat ini dikoreksi oleh Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak?
Menurut UU Kepabeanan, Nilai Pabean adalah Nilai Transaksi yang sebenarnya, yaitu yang dibayar atau yang akan dibayarkan oleh importir. Hasil edar yang wajib disetorkan ke LN adalah komponen harga/nilai transaksi, sebagai suatu syarat dari perolehan hak edar film impor di Indonesia, istilah pabeannya adalah Proceeds, harus dimasukan dalam nilai pabean yang harus diperhitungkan ketika membayar Bea masuk dan PPN serta PPH ketika mengimpor film.
Bea Masuk hanya 10%, total pungutan impor 23,75% dari Nilai Pabean, maka nilai nominal pajak akan makin membesar seiring dengan besarnya hasil edar film tersebut, sehingga berapapun besarnya jumlah pajak film impor tetap tidak memberatkan, karena mereka masih memiliki 76,25% dari total penerimaan film impor yang diedarkan di Indonesia.
Permasalahan sesungguhnya, importir film asing dan/atau Hollywood terbukti selama ini telah membayar pajak impor terlalu rendah, dengan cara melanggar ketentuan yang berlaku. Mereka telah melakukan self assesment yang keliru. Pemerintah tidak menambah beban pajak film impor melalui peraturan pajak yg baru. Menjadi sangat tidak wajar jika pemerintah tidak mengkoreksi perlakuan pajak terhadap film impor, karena berapa jumlah penerimaan pajak negara yang bersumber dari pajak film impor yang seharusnya bisa masuk ke kas negara.
Para importir film asing terancam akan ditagih utang pajak yang bertumpuk selama sekian tahun, juga merasa ketakutan ditagih sekaligus ditambah bunga dan dendanya. Mungkinkah inilah yang dimaksud kalangan importir film asing AS bahwa pemerintah akan mengenakan pajak yang besar terhadap film impor?
Karena itulah nampaknya para importir film asing mendahului keputusan dinyatakan bersalah berdasarkan hasil audit Bea Cukai dengan menuding perlakuan pajak pemerintah memberatkan importir film serta membangun opini publik yang berhasil menciptakan situasi ketakutan akan hilangnya film Hollywood dari bioskop-bioskop di Indonesia.
Selama ini para importir film asing terlihat menyembunyikan data dan fakta kepada otoritas pajak Indonesia dalam memberikan keterangan yang berkaitan dengan penentuan pajak film impor dan peredarannya. Bahkan, laporan pajak film impor yang tidak “benar” dan “kurang lengkap” selama ini dapat dikategorikan sebagai penghindaran pajak.
Untuk menghindar dari beban tagihan kewajiban pajak film impor yang benar dan wajar sesuai peraturan dan perundangan tiga importir film asing, yaitu PT Camila Internusa, PT Satrya Perkasa Esthetika dan PT Amero Mitra mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Akan berhasilkah importir film asing terhindar dari kewajiban membayar utang pajak sesuai ketentuan yang berlaku? Akankah importir pajak dapat terus berhasil mengelabui petugas Bea Cukai dan petugas Pajak sehingga tidak harus membayar pajak yang benar? Mungkin dalam situasi seperti ini para importir film asing lainnya memerlukan bantuan petugas pajak minimal sekaliber Gayus HP Tambunan. Tetapi, wajarkah jika beban pajak film impor lebih kecil dari pajak film nasional? (*)
*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta.
Komentar Terbaru