Desa adalah tempat teduh untuk menjernihkan pikiran; Desa adalah tempat tenang untuk memelihara jiwa. Jadi jangan jadikan desa seperti kota, Jangan ubah desa menjadi kota! (Puisi Ceria, 2009) Setiap melakukan kunjungan kerja ke desa, bertatap langsung dengan masyarakat, saya melihat dinamika membangun yang begitu tinggi. Hasil pembangunan yang dikerjakan secara swadaya misalnya, ternyata tak cuma harus dilihat fisiknya, namun juga mesti dikaji bagaimana masyarakat menggarap dan menyelesaikan pekerjaan itu. Orang-orang desa itu sangat membanggakan apa yang mereka kerjakan. Karena itulah mereka pasti akan menyampaikan hasil swadaya itu kepada saya dengan suka cita, disertai rasa haru, dan sepenuh jiwa. Saya membayangkan dua paragraf ini berasal dari tulisan para gubernur yang sudah habis masa jabatannya dan dua paragraf ini juga dipastikan akan dibaca oleh gubernur yang baru dilantik. Sayangnya, dari sejumlah tulisan yang ditinggalkan oleh para gubernur di seluruh nusantara ini, hanya dari mantan gubernur propinsi Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Oka namanya, yang menyampaikan kesan-kesan menyentuh seperti ini. Dalam buku berjudul KABAR DARI DESA, dua paragraf ini dikutip. Dan memang inti dua paragrap ini adalah kabar dari desa, kabar bagaimaôÐna orang-orang desa dengan sukacita, haru, dan sepenuh jiwa menyampaikan apa-apa yang telah (dan mungkin juga sedang serta akan) dikerjakan. Adakah kenyataan yang lebih penting dan lebih indah dari ini? Orang-orang desa yang sederhana, lugu, dan tulus sedang menyampaikan isi hati mereka? Tidak ada, bukan? Meskipun Prof. Oka, dan banyak gubernur lainnya, bukanlah gubernur yang meninggalkan masa jabatannya dengan nama yang harum, khususnya di mata pada mahasiswa, karena beberapa kasus seperti kasus BNR, Pecatu, dsb. tetapi tetap saja paragraf-paragraf dalam KABAR DARI DESA pantas diacungi jempol, karena isinya yang menyentuh dan memberi inspirasi. Mengenal Jenis-jenis Desa di Indonesia Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri, begitu bunyi salah satu definisi desa. Sedangkan pedesaan diberi makna sebagai daerah pemukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk di tempat itu. Karenanya tidak mengherankan kalau selama ini dikenal ada banyak sekali jenis desa, khususnya di tanah Jawa. Ada desa abdi, desa kaputihan, desa mijen, desa pakuncen, desa perdikan, desa peristiwa, desa praja, desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada. Sedangkan di Bali ada dua jenis desa yang paling banyak disebut-sebut yaitu desa adat dan desa dinas. Percaya bahwa peran penting desa bukan saja terletak di masa lalu, tetapi juga di masa sekarang dan di masa-masa yang akan datang, tidak salahnya kalau untuk sejenak dilirik penjelasan dan definisi masing-masing jenis desa yang telah disebut. Desa abdi adalah desa yang ditempati oleh pegawai-pegawai bawahan sultan. Desa jenis ini dulu banyak dijumpai di kawasan kerajaan Banten. Desa keputihan adalah desa yang banyak ditemukan di tanah Jawa. Biasanya berlokasi di dekat mesjid atau pusat peribaôÐdatan yang didiami oleh orang-orang saleh. Desa mijen, juga banyak ditemukan di Jawa, adalah desa yang diserahkan oleh raja kepada keluarga-keluarga tertentu dan mereka dibebaskan dari pajak tanah. (Mungkin ketentuan tidak membajar pajak ini sudah tidak berlaku lagi sekarang!). Desa pakuncen adalah desa yang penduduknya dibebani kewajiban menjadi penjaga kuburan. Desa perdikan adalah desa yang tidak jauh berbeda dari desa mijen karena penduduk desa ini pun dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah pusat. Desa peristiwa adalah desa yang terbentuk karena adanya kegiatan transmigrasi. Sedangkan desa praja bermakna kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu, berhak mengurus rumah tangga sendiri, memilih penguasa, dan mempunyai harta benda sendiri. Desa swadaya adalah desa yang masih terikat oleh tradisi karena taraf pendidikan penduduknya relatif rendah, produksi diarahkan untuk kebutuhan primer keluarga, dan komunikasi ke luar sangat terbatas. Desa swakarya adalah desa yang sudah agak longôÐgar adat istiadatnya karena pengaruh luar, mengenal teknologi pertanian, dan taraf pendidikan warganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya. Sementara itu, desa swasembada adalah desa yang lebih maju daripada desa swakarya dan tidak terikat lagi oleh adat-istiadat yang ketat. Desalah Kunci Masa Depan Indonesia Semua orang memerlukan kesederhanaan berpikir dan kesetiaan pada traôÐdisi agar terbebas dari desakan pengaruh asing. Untuk ini semua orang diminta pintar-pintar memilih mana yang patut diikuti untuk meningkatkan kesejahteraan, mana pula yang mesti secara tekun terus menerus dilaksanakan agar tradisi tidak menguap dan lenyap, tulis Prof. Dr. Ida Bagus Oka. Pendapat ini tentu saja tidak tabu dikutip dan dilakukan bahkan oleh para gubernur yang paling modern dan paling anyar sekali pun. Untuk bisa melakukan ini, tidak ada pilihan lain kecuali berpaling ke desa. Mengapa? Karena di desalah terdapat sumber ajaran nan mengagumkan ini! Banyak falsafah orang desa yang bisa dijadikan panutan dan kajian pertimbangan ketika bertindak. Dari orang desa orang bisa belajar yang patut dan yang tidak patut. Di desa orang bisa meneôÐmukan kejujuran dalam bekerja. Di desa kerja tak semata untuk kepuasan badan, tetapi juga untuk kenikmatan batin. Sedangkan kota? Tanpa bermaksud mengatakan bahwa di kota tidak adalagi orang jujur, tetap saja harus diakui bahwa semakin sulit menemukan kejujuran di kota. Yang banyak ditemukan di sana adalah kebalikannya. Pertanyaannya sekarang, apakah ide-ide mutakhir yang akhir-akhir ini banyak digulirkan oleh para gubernur yang baru terpilih tetap berpihak pada falsafah memerintah yang khas ala orang desa, lugu, jujur dan tidak berlebihan? Dalam kasus Jawa Timur, Bali dan Lombok, tiga propinsi yang saling bertetangga ini, khususnya jika masalahnya dikaitkan dengan pariwisata maka konsep wisatawan jangan dihalangi datang dapat diterapkan bersama. Tetapi hendaknya juga tidak terlalu bersemangat menariknya untuk datang. Dollar, betapa pun banyaknya, tidak bisa menggantikan kehidupan desa yang asri, tenteram, menyenangkan, tulus dan teduh tempat semua orang bisa menjernihkan pikiran. Di samping itu hendaknya terus menerus diingat bahwa potensi kebudayaan terdalam dan terindah suatu masyarakat terpendam di desa-desa. Baik yang di Lombok, Bali, atau Jawa Timur. Jangan biarkan orang asing menggali, menikmati, dan memanfaatkannya lebih dulu, semenôÐtara banyak tuan rumah disibukkan oleh usaha-usaha lain yang justru disadari atau tidak disadari, diakui atau tidak diakui, cepat atau lambat, akan merusak potensi budaya itu sendiri. Pembangunan kepariwisataan memang harus terus dipacu tetapi janganlah berlebihan. Sudah banyak bukti dari tempat lain, betapa langkah perencanaan yang salah, seperti terlalu memacu dan kemuôÐdian (katanya) berhasil, menjadi sesuatu yang sulit untuk diperôÐbaiki. Bisa pun waktunya bertahun-tahun. Masih ingat Hawaii, Samoa, Bora-Bora, kepulauan Antilles, serta banyak lagi yang lain, bukan? Mereka ingin mengembalikan lagi keadaan masyarakat dan potensi budaya mereka seperti dulu ketika belum berubah karena pembangunan kepariwisataan yang berlebihan, tetapi seôÐmuanya terlambat. Lombok, Bali dan Jawa Timur tentunya tidak perlu meniru itu. Biarkan propinsi-propinsi ini dengan jati dirinya sendiri. Biarkan bagian dari Indonesia yang kaya dengan desa ini berkembang seirama dengan kemampuannya sendiri. Wisatawan yang datang dijadikan pelengkap bagi dinamika masyarakat dan bukan sebagai titik sentralnya. Mengapa? Karena kalau hal ini dilakuôÐkan, seperti dapat dilihat pada kawasan-kawasan lain di negara-negara lain, keuntungan jangka pendek yang dinikmati oleh segeôÐlintir orang tidaklah sepadan dengan kerugian jangka panjang yang harus diderita oleh banyak orang, terutama masyarakat desa sumber tempat banyak hal dapat dipetik dan dipelajari. Lestarikan desaku, lestarikan desamu, lestarikan desa kita semua! Masa depan Indonesia dan juga masa depan desa di seluruh kawasan nuswantara ini tidak berada pada sirkuit balap, tidak pada cafe, tidak pada bangunan menjulang tinggi, tidak berada pada bandara dengan tiga landasan pacu paralel, tidak juga pada jutaan wisatawan yang datang membanjir, melainkan berada pada desa, berada pada orang-orang desa, berada pada anak-anak desa. Mengapa? Karena merekalah pewaris dan sekaligus pemilik sah tanah dan negeri tercinta ini! Jadi marilah mereka dihargai dan dididik sebagai mana mestinya, sebagai mana seharusnya! Dr. Tri Budhi Sastrio Dept. of Liberal Arts – University of Pelita Harapan tribudhis[at]yahoo[dot]com
Desa, Kunci Masa Depan Indonesia
oleh openmadiun | Feb 12, 2011 | Kabar OpenMadiun | 0 Komentar
Komentar Terbaru